Tahu tak selalu menggerakkan seseorang menjadi mau.Kita membutuhkan
hidayah Allah untuk memiliki kekuatan tekad yang lurus dan melahirkan
gerak yang benar. Tahu tak menjamin seseorang menjadi tercerahkan kemudian mendulang kepuasan hakiki dalam hidupnya. Ada iman yang tak
sembarang Allah berikan kepada hamba-hambaNya. Ada taufik yang wajib
keberadaannya sehingga mengawal semua langkah menjadi istiqomah. Hina
semua tahu, hina semua tekad, hina semua gerak, hina semua kepuasaan
jika bukan terbangun di atas iman. Adalah Walid bin Al Mughirah, seorang ahli sastra bangsa Quraiys.
Suatu ketika Walid bin Al Mughirah mendengar beberapa ayat Al Quran,
maka iapun terpesona. Kaum Quraisy lalu berkata :
“Demi Allah! Walid telah terpengaruh dan tentu akan terpengaruhlah orang-orang Arab semuanya.”
Kaum Quraiys kemudian mengutus Abu Jahal untuk menekan Walid. Abu
Jahal datang dengan memperlihatkan keangkuhan dan kebanggaan terhadap
keturunan dan hartanya. Ia mendesak Walid untuk menyatakan apa yang
diketahuinya tentang Al Quran dengan bahasa yang difahami oleh kaumnya
yang menunjukkan kebenciannya akan Al Quran.
Walid menjawab, “Apakah yang sebenarnya akan aku katakan tentang Al Quran?”
Ia berhenti sejenak, kemudian meneruskan, “Demi Allah! Tidak ada
seorang pun di antara kamu yang lebih mengetahui daripada aku tentang
syair, rajaz, qasidah atau syai-syair jin. Demi Allah! Seikitpun tidak
serupa apa yang diucapkannya (Al Quran) dengan sya’ir, rajaz, atau
qasidah. Sesungguhnya ia dapat menghancurkan apa yang di bawahnya dan
sesungguhnya ia amat tinggi dan tidak dapat dikalahkan.”
Mendengar penuturan Walid, Abu Jahal murka dan mengancam, “Demi Allah! Kaummu tidak rela hingga kamu mencacinya!” Walid pun dengan bimbang menjawab, “Tinggalkanlah aku dan aku akan memikirkannya!” Kemudian setelah berpikir panjang, Walid sampai pada kesimpulan yang mendustai prolognya sendiri, “Sesungguhnya
Al Quran ini adalah sihir-sihir yang amat mempengaruhi. Apakah kamu
tidak mengetahui bahwa Al Quran dari keluarganya dan dari
hamba-hambanya?
Na’udzubillahi min dzalik, Allahu akbar!. Rupanya, kebanggaan dan
kepuasan diri atas kaum dan keturunannya menjadikan jiwanya kerdil untuk
menyongsong kepuasaan diri yang hakiki. Ia mendustai nuraninya sendiri,
ia padamkan sendiri bashirah yang sudah menyala-nyala itu, padahal akal
dan hatinya sudah sampai pada satu titik pencerahan, yakni pengakuan
pada keajaiban Al Quran. Kisah ini menyimpan banyak pelajaran tentang
betapa hidayah dan taufik Allah begitu berharga. Allah mengabadikan
kisah ini dalam Surat Al Mudatstsir:18-24;
“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang
ditetapkannya), maka celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan?
Kemudian celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Kemudian memikirkan,
sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, kemudian dia berpaling (dari
kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu dia berkata: “Al Quran ini
tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu).”
*Disadur dari buku “Keajaiban Al Quran” karya Sayyid Quthb