Headlines News :
Home » , , » Masa Kecil Itu ( Bagian I )

Masa Kecil Itu ( Bagian I )

Written By Unknown on Selasa, 02 Juli 2013 | 09.30

Masa Kecil Itu
   Catatan ini lahir, bermula dari factor ketaksengajaan saat ngedownload lagu-lagu kesukaanku di situs youtube.com. Awalnya sih hanya ngedownload lagu-lagu milik grup Band yang digawangi oleh Kurt Cobain yaitu Nirvana dengan Unplugged in New York-nya. Seusai lagu-lagu dalam album tersebut didapat,  The Beatles menjadi jujugan saya selanjutnya.

      Grup Band asal Liverpool Inggris ini ku kenal seusai membaca buku biografi Gus Dur yang ditulis oleh Greg Barton. Barton secara sekilas menyebut beberapa band music yang disukai oleh Gus Dur dalam karyanya tersebut.  Dari sanalah aku mencoba untuk mencari tahu tentang grup band yang didirikan pada tahun 1960 ini. Buku tentang group band yang menganggap dirinya lebih terkenal dari Yesus inipun sudah saya miliki. Lengkap sudah, demikian pikirku. Tahu musiknya, tahu pula perjalanan band tersebut.

       Saat lagi enak-enaknya ngedownload lagu-lagu Barat, eh ndilalah kok pikiran saya malah menuntun untuk ngutak ngatik nyari lagu-lagu dan film India. Muncullah satu-persatu lagu-lagu lawas India tahun 80-an. Dari filmnya Naseeb, Mard, Shahenshah, Toofan, Disco Dancer, Qurbani Qurbani hingga Nagina. Perlu diketahui juga, beberapa film tersebut dibintangi oleh artis papan atas India masa 80-an, dari Amitab Bachan, Mithun Chakraborthy, Vinod Khana, Feroz Khan dan Rishi Kapoor.

Masa Kecil Itu
        Mulailah ingatanku kembali pada masa kecil dulu, saat film-film itu merajai dunia perfilman di tanah air. Bioskop-bioskop ditempatku, di Bali sana dipenuhi oleh gambar-gambar yang akan menayangkan film-film itu. Karena pada waktu itu masih kecil, ibu melarang keras untuk pergi ke bioskop Singaraja Theater dan Wijaya Theater, dua bioskop yang sering memutar film di kotaku. “Di sana banyak orang nakalnya” begitu cuap ibu menakutiku.

       Didorong rasa penasaran karena keinginan nonton film  India, diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu, aku nonton film India pada bioskop rumahan di sebelah gang kampung rumah. Tak jarang, aku harus ngutil uang belanjaan ibu yang ditaruh di lemari yang terbuat dari kayu jati dalam kamarnya. Waktu itu, untuk bisa nonton diharuskan membayar tiket sebesar 100 perak. Karena masih anak kecil, tentu saja saya tak punya uang segitu. Kerja aja belum Iya khan? Maka ngutil uang ibulah jalan keluarnya. Begitu pikirku. 

        Waktu itu, film India yang pertama kali saya tonton adalah film yang dibintangi oleh legenda India Amitabh Bachan dan Amrita Singh berjudul Mard. Aku kagum dengan artis kelahiran Allahabad Uttar Pradesh ini. Ditopang tinggi badan yang menjulang serta wajah tampannya serta aktingnya yang sangat elegan dan ksatria dalam film Mard ini, ia menjelma menjadi sosok yang saya kagumi waktu kecil dulu.

         Dalam film itu dikisahkan saat India masih berada dalam cengkeraman penjajahan Inggris pada awal abad dua puluh. Namanya penjajahan, di mana-mana tak akan ditemui keadilan, kesetaraan. Begitupun yang terjadi di India waktu itu. Sumber daya alam India dijarah, dirampok dibawa ke Inggris. Kondisi memperihatinkan ini membuat Raja Azad Singh melakukan pemberontakan pada pasukan Inggris. Meski berhasil membunuh banyak prajurit Inggris, Raja Azad Singh pada akhirnya ditangkap oleh pihak Inggris karena dianggap ancaman bagi keberadaan mereka di tanah Hindustan.

 Sebelum Raja Azad Singh ditangkap, Rani Durga istrinya melahirkan bayi laki-laki dan diukirlah sebuah kata “mard” pada dada bayi mungil itu. Meski dada bayi tersebut berdarah karena ukiran kata yang ditoreh oleh ayahnya, ia tak sekalipun menangis. Malah tersenyum. Mard bermakna manusia yang mempunyai kekuatan dan keberanian untuk melawan. Inilah yang diharapkan oleh ayahnya, Raja Azad Singh. Mard adalah simbol perlawanan rakyat India pada penjajah Inggris. Mard juga simbol pembebas dari  penindasan terhadap rakyat yang dicekik oleh penguasa asing yang datang atas nama keadaban. Mard adalah mereka, kaum laki-laki sejati yang tak pernah merasakan sakit dan mengeluh sebab kerasnya cobaan hidup.

       Sosok Mard inilah yang menuntunku untuk hari-hari selanjutnya merangkai mimpi berharap bisa nonton film  Amitab Bachan lainnya. Kegilaanku nonton film India, pada akhirnya tercium juga oleh Ibu yang selalu memperhatikan perubahan waktu tidurku. Ibu curiga melihat kelakuanku yang berubah. Waktu siang hari, yang biasanya digunakan untuk tidur, aku malah ke bioskop rumahan itu diam-diam. Kecurigaan ibu akhirnya terbukti, saat tetanggaku mengadukan kebiasaanku suka nonton film India di bioskop rumahan.

       Suatu waktu saat matahari menjelang istirahat dari tugasnya menyinari bumi, aku pulang ke rumah seusai nonton film yang diperankan Amitab Bachan berjudul Shahenshah. Film ini lagi-lagi membetot pikiranku untuk menjadi sosok seperti Inspektur Vijay, Sosok pejuang bertangan besi yang melawan kejahatan tapi menyamarkan dirinya ibarat Robin Hood, pahlawan hero dari Barat sana. Sambil berdendang, aku masuk ke rumah tanpa menghiraukan ibu yang lagi duduk di serambi depan kamarnya.
“Dari mana nak?”
“Dari rumahnya teman. Asep” begitu jawabku sepintas.
Aku tak melihat bahwa di tangan ibu sudah tersedia sapu lidi yang biasanya digunakan untuk menyapu teras rumah. Tanpa banyak tanya lagi ibu mendekatiku dan memegang lenganku.
“Kamu sudah mulai berbohong sama ibu ya nak” tanpa ba bi bu langsung aku dihajarnya. Paha kaki kanan dipukulnya dengan sapu lidi itu. Aku menjerit kesakitan. Mengaduh. Mengerang. Tapi ibu tetap memukulkan sapu lidi itu pada kaki kiriku dan badanku.
“Sudah ibu bilang, jangan nonton film. Masih saja kamu melanggar omongan ibu. Dari mana kamu dapat uang untuk nonton itu? Ayo jawab?”.
Aku tak menjawab. Diam seribu bahasa karena terisak tangis menahan sakit. Dihajar lagi kaki kanan dan kiriku dengan sapu lidi itu hingga memar kemerahan
“Ampun bu. Ampun. Besok nggak lagi bu. Sakit bu”
“Biarin. Biar ibu patahin kakimu agar gak bisa jalan sekalian. Waktunya tidur malah digunakan kelayapan nonton film. Sana masuk kamar, segera mandi dan ngaji di langgar”. teriak ibu mengancam.

        Dengan mengiris aku masuk kamar, mengambil handuk untuk mandi bersiap mengaji. Langgar tempatku mengaji ada di utara rumahku. Ar-Rasyid namanya. Bangunannya tiga tingkat dengan ubin yang dingginnya kadang membuatku tidur nyenyak saat tidur-tiduran dilantainya. Pengajar di langgar tersebut seorang pemuda berasal dari Malang bernama Hariri. Kami memangilnya ustadz sejak pertama dia mengajar kami. Di langgar inilah karakterku dibentuk dan dipoles oleh pengajar dari Malang ini.  Keras. Keras cara mengajarnya.

Jakarta, 30 Juni 2013.

Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Translater

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
 
Support : Creating Website | Arick Evano | Membaca Itu Asik
Proudly Powered By Blogger
Copyright © 2012. Remaja Masjid Ar-Rasyid - All Rights Reserved
Kumpulan Informasi Oleh Remaja Masjid Ar-Rasyid