Headlines News :
Home » , , » Masa Kecil Itu ( Bagian II )

Masa Kecil Itu ( Bagian II )

Written By Unknown on Selasa, 02 Juli 2013 | 09.45

Masa Kecil Itu
       Langgar Ar-Rasyid. Demikian orang-orang sekampung memberi nama pada bangunan tiga lantai itu. Di langgar itulah aku dan kawan-kawanku ditempa, disuapi, dan dijejali berbagai ilmu agama yang saat itu kami tak tahu tujuan dari beberapa pengajaran itu. Fiqh, Ahlak, Tajwid dan Sejarah Islam tiap malam seusai sholat magrib disuguhkan pada kami secara bergantian. Pembacaan barjanji, pengajian kitab kuning, latihan Hadrah  hingga pembacaan sholawat Nariyah pun menjadi ritual mingguan yang tak boleh ditinggalkan.

            Metodenya memang masih klasik layaknya pesantren-pesantren di tanah Jawa. Namun jangan salah, bila ada santri dari langgar Ar-Rasyid yang mengikuti kejuaraan peringatan hari besar Islam, juara dua atau satu menjadi langganan kami. Tidaklah mengherankan bila tradisi itu masih berlanjut hingga sekarang. Saat dalam rangka memperingati Hari Raya Idul Fitri kemarin pun Remaja Masjid dari langgar ini meraih juara dua lomba takbir keliling. Bahkan aku dapat kabar, beberapa bulan lalu saat mengikuti festival beduk yang diadakan oleh PHBI Kab. Buleleng, langgar kami merengkuh juara satu. Subhanallah. Alhamdulillah. Ternyata tradisi itu masih berjalan.
Masa Kecil Itu


           Dulu, saat masih ngaji di sana, memang terasa system mengajarnya beda dengan kebanyakan tempat pengajian lain yang ada di sekitar sana. Kami dididik sangat keras terutama cara bagaimana membaca Al-qur’an agar sesuai dengan kaidah dalam ilmu tajwid. Makhorijul hurufnya, serta hokum bacaannya selalu menjadi titik tekan dari Almarhum guru-guru kami. Jangan pernah berharap akan pindah halaman jika bacaannya masih belum benar. Yang ada malah akan mendapat pukulan rotan yang selalu ditenteng oleh ustadz kami.

            Pernah ada salah satu teman mengajiku yang saking bebalnya, ia sampai dipukul dengan potongan kabel berisi tembaga. Bisa dibayangkan bagaimana sakit dan pedihnya pukulan itu. Di lain waktu, bila tak melaksanakan salah satu dari sholat lima waktu, maka setelah sholat Isya’ hukuman siap menanti kami. Akupun termasuk salah satu yang pernah merasakan sakitnya pukulan potongan kabel itu di tangan kananku. Biasanya setelah dipukul, tanda merah akan melekat pada tangan ataupun kaki yang terkena pukulan itu. Sakit. Perih. Panas di tangan ataupun kaki tersebut kurasakan.
          Namun dibalik sikap keras ustadz itu, kami merasakan efeknya sekarang. Tak satupun generasi kami  yang tak bisa membaca Al-Qur’an. Semuanya lancar. Makhorijul huruf dan tajwidnya sangat tepat, sesuai dengan hokum bacaannya. Akan merasa malu jika salah satu di antara kami yang mengaji di Ar-Rasyid itu tidak bisa mengaji Al-Qur’an secara benar. Karena bagi orang tua kami, kemampuan membaca Al-Qur’an adalah alat untuk bisa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Bagaimana tidak, ketika ada pengajian, pasti yang dibaca adalah Al-Qur’an. Ketika ada khitanan atau walimahan, yang dibaca ya Kitab Barjanji yang juga berbahasa Arab. Lah kalau tidak bisa membaca Al-Qur’an atau Barjanji yang notabenenya berbahasa Arab, malulah kita dibuatnya. 
        Aku merasakan betul manfaat gembelengan `ustadz yang pernah mengajar di langgar Ar-Rasyid itu. Aku yang berada dan hidup di tanah jawa bisa mencecap nikmatnya kemampuan membaca Al-Qur’an yang dulu diasah oleh ustadz tersebut. Aku tak merasa canggung ketika ada khataman Al-Qur’an untuk ikutan nimbrung membacanya bersama jamaah lainnya. Dengan mengikuti khataman inilah aku bisa kenal dengan masyarakat sekitar. Bercengkerama dengan mereka. Bersenda gurau sambil mencicip nikmatnya kopi hitam yang disediakan masyarakat sekitar masjid.
           Tak pula ada rasa takut saat diminta untuk menjadi imam sholat jamaah di masjid dekat kosku. Satu pesan yang masih selalu terpaku dalam ingatanku “jadilah padi jangan menjadi pakis. Orang berilmu akan selalu tunduk, tidak meninggikan diri karena ilmu tidak akan pernah mengalir pada dataran yang tinggi” begitu pesan ustadz kami saat pelajaran Akhlak. Intinya adalah orang berilmu bukanlah mereka yang suka menunjukkan keunggulan dirinya. Bukan pula yang menonjolkan kelebihan yang dimilikinya. Tapi, orang yang berilmu adalah mereka yang selalu siap menerima amanah yang dibebankan dipundaknya tanpa secuilpun mengharap pujian dari pemberi amanah itu. 
           Dikejauhanlah, di pulau seberanglah aku merasakan manfaat kerasnya sistem ajar yang digunakan di langgar Ar-Rasyid. Dikejauhan pula, aku bisa memanfaatkan irama dan lagu sholawat Barjanji yang dulu semenjak kecil sudah disuguhi dihadapanku saat mengaji. 
            Dari pukulan rotan ustadz aku dapat memetik hikmah bagaimana menghadapi hidup yang keras tidak dengan cara menangis, menitikkan air mata. Dari jeweran pada telinga, aku bisa menjala hikmah bahwa kedua telinga harus lebih banyak digunakan dibanding mulut. “Telingamu harus lebih banyak mendengar serta kurangi pembicaraan yang keluar dari mulutmu”. Begitu kira-kira yang kupahami sekarang ini. Cubitan di dada membuatku tahu akan kesejatian seorang laki-laki itu ditunjukkan oleh hasil jerih payah dirinya, bukan karena orang tuanya. Inilah yang kemudian aku pahami dari perkataan Sahabat Rosul yang dikenal karena ketinggian ilmunya Sayyidina Ali. Ia berkata “ pemuda itu bukanlah mereka yang membesar-besarkan orang tuanya, tapi adalah mereka yang berani menepuk dadanya sambil berkata “ Inilah aku”.

Jakarta, 02 Juli 2013

Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Translater

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
 
Support : Creating Website | Arick Evano | Membaca Itu Asik
Proudly Powered By Blogger
Copyright © 2012. Remaja Masjid Ar-Rasyid - All Rights Reserved
Kumpulan Informasi Oleh Remaja Masjid Ar-Rasyid